Banyak
Muslim Indonesia belum menyadari bahwa sehari-hari kita dikelilingi
oleh bahan pangan haram maupun subhat. Bahkan mungkin tanpa disadari,
tubuh kita dan keluarga kita telah terkontaminasi oleh bahan pangan
haram. Padahal cukup jelas peringatan dari Rasulullah: “Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya” (HR Tirmidzi).
Ketidaktahuan
dan ketidak pedulian dari konsumen Muslim saat ini makin menumbuh
suburkan maraknya produksi dan perdagangan pangan haram. Pada artikel
ini PusatHalal.com ingin sedikit berbagi tentang realita di sekitar kita
yang perlu diketahui, diwaspadai dan di siasati agar kita tidak
terjebak untuk menggunakan atau mengkonsumsi bahan pangan haram dan
subhat.
Setidaknya
ada empat aspek yang perlu kita ketahui yang berperan besar dalam
menghasilkan dan menyuburkan peredaran produk-produk haram dan subhat di
sekitar kita yaitu :
1.Dampak Perkembangan Teknologi Pangan
Perkembangan
teknologi pangan, selain berdampak positif bagi manusia, disisi lain
perlu dicermati pula dampak negatifnya. Salah satu dampaknya adalah
makin kompleksnya proses pengolahan dan distribusi bahan pangan,
sehingga berpotensi terjadinya penggunaan atau pencampuran bahan haram.
Hal ini mempersulit penentuan halal dan haramnya suatu produk pangan
oleh kalangan awam karena perlu pengetahuan yang memadai untuk
mengetahui apakah produk yang diproduksi halal atau tidak. Cara paling
aman, masyarakat Muslim cukup mempercayakan kepada lembaga terkait yang
berkompetensi untuk melakukannya. Namun mengingat produk-produk yang
bersertifikat halal resmi masih relatif sedikit, karena terdesak
kebutuhan dan ketidaktahuan seringkali masyarakat dengan mudah
menganggap “halal” suatu produk yang belum bersertifikat halal hanya
berdasarkan “asumsi” semata.
Satu
contoh yang mudah saja, ketika memilih air mineral dalam kemasan,
masyarakat dengan mudah “ber-asumsi” bahwa produk ini halal karena hanya
air saja. Padahal kalau dicermati proses penyaringan air mineral,
banyak pabrik menggunakan arang sebagai penyaring. Sedangkan arang ini
banyak yang berasal dari tulang hewan yang di bakar. Jika arang ini
diimpor dari Negara non-muslim, sangat besar kemungkinan berasal dari
tulang babi (karena paling banyak dikonsumsi dan harganya jauh lebih
murah). Dr Anton Apriyantono dalam beberapa tulisannya mengungkapkan
kaidah fikih: jika bahan yang haram (walau sedikit) bercampur dengan
yang halal, maka status dari bahan tersebut adalah haram. Jadi jangan
heran atau dianggap berlebihan ketika membeli air mineral-pun kita perlu
melihat logo halalnya. Walaupun yang tidak berlogo halal belum tentu
juga haram, namun karena kemajuan teknologi ini, menurut hemat kami
statusnya menjadi subhat, kecuali kita mengethui persis proses
produksinya.
Artikel
ini tidak akan membahas secara detail berkaitan teknologi pangan ini,
namun hanya gambaran umumnya saja agar kita waspada dan “lebih memilih produk yang sudah berlabel halal resmi”
dibanding yang tidak ada labelnya. Jangan sampai kita terjebak
mengkonsumsi produk-produk haram gara-gara “asumsi” yang “asal” seperti
diatas.
Dalam konteks makanan, Dr Anton Apriyantono mendefinisikan makanan halal sebagai berikut:
- Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
- Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti : bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
- Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari'at Islam.
- Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dulu harus dibersihkan dengan tata cara syari'at Islam
- Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Dewasa
ini konteks halal telah meluas tidak hanya untuk makanan dan minuman
saja, namun juga obat-obatan, vitamin, supllemen, vaksin dan kosmetika.
Karena tak jarang produk-produk tersebut menggunakan bahan haram dan
najis.
Dalam
pelatihan yang diselenggarakan oleh MUI yang diikuti team PusatHalal
beberapa waktu lalu, saat membahas tentang teknologi pangan, kami
ditunjukan dua buah peta berkaitan penggunaan dan distribusi bahan
haram. Dua peta ini membuka mata kami tentang begitu kompleksnya
penggunaan dan peredaran bahan haram dalam teknologi pangan. (lihat
gambar 1 dan gambar 2 dibawah ini)
Gambar
1 adalah peta secara umum bahan-bahan haram yang sering digunakan dalam
produksi produk pangan, obat dan kosmetika. Gambar 2 menggambarkan
lebih detail salah satu bahan haram yang sering dipakai yaitu “babi”.
Perhatikan bahwa hampir semua anggota tubuh babi digunakan dalam
teknologi dan pembuatan produk pangan, kosmetik dan obat-obatan.
Kalau
kita perhatikan dengan seksama peta-peta dibawah, bisa diambil
kesimpulan bahwa banyak produk yang mungkin sekilas tidak mengandung
bahan haram ternyata berpotensi mengandung bahan haram. Kemungkinan
makin besar jika produknya atau bahan-bahanya di datangkan dari negeri
non-muslim. Khusus babi, penggunaannya begitu luas mengingat kemudahan
berkembang biak, pemeliharaan yang mudah dan harganya yang murah.
Dijelaskan disini babi sekali beranak bisa mencapai 14 ekor (bandingkan
dengan sapi dan kambing yang hanya 1-2 ekor). Makanannya pun mudah,
karena babi memakan apa saja, termasuk (maaf) kotorannya sendiri.
Belum
lagi kalau kita telisik tentang proses dan peralatan yang digunakan
dalam produksi dan distribusi. Walau komposisi produk semuanya halal,
namun jika peralatan yang dipakai dalam produksi dan distribusi
digunakan juga untuk produk yang mengandung bahan haram, maka potensi
pencampuran atau kontaminasi dari peralatan akan tetap ada.
Gambar 1 : Peta Bahan Pangan Haram (sumber LP-POM MUI)
Gambar 2 : Peta Babi (Sumber : LP-POM MUI)
Menurut Ust Nanung Danar Dono, dosen dan peneliti dari UGM penggunaan bagian-bagian tubuh babi sudah begitu meluas di dunia industri, diantaranya:
Lemak
•Lemak & gliserin : softdrink, bahan kosmetik (facial, hand & body lotion), sabun,bahan roti, eskrim, dll.
•Emulsifier : Lesitin, E471-E476, dll (tapi ingat tidak semua kode E merujuk ke Babi).
•Lard (lemak babi) : coklat, pengempuk / pelezat rerotian, masakan, dll.
•Minyak : penyedap masakan
•Bahan starter Vetsin (kasus Ajinomoto)
Daging
•Sumber protein hewani yang murah: ham, pork, sausage (sosis), dendeng
•Daging babi empuk, serat halus, dan rasanya lezat.
•Dapat dipakai sebagai campuran bakso, siomay, bakmi goreng, dll.
Tulang
•Industri pariwisata : patung, dll.
•Industri makanan/minuman : arang tulang sebagai filter penyaring air mineral.
•Industri obat : gelatin sebagai bahan soft capsule dan soft candy (permen), penghilang keruh fruit juice.
•Industri pertukangan : bahan lem, dll
Bulu
•Bahan kuas (BRISTLE): kuas roti, kuas cat tembok, kuas lukis.
•Laporan
Badan Pusat Statistik (2002) : Periode Januari – Juni 2001, Indonesia
mengimpor boar bristle & pig/boar hair se-jumlah 282,983 ton
(senilai 1.713.309 US $)
Organ Dalam
•Transplantasi : ginjal, hati, jantung
•Plasenta : kosmetika (facial, hand & body lotion), sabun, dll.
•Usus : sosis, benang jahit luka, dll.
•Enzim pencernaan : amilase, lipase, tripsin, pankreatin, pepsin, dll.
Kotoran
• Pupuk tanaman apel di Jepang
• Pupuk sayuran (Baturraden,, Temanggung, Wonosobo, dll.)
• Darah babi untuk Black Pudding.
Kulit- Industri kulit (leather handicrafts): tas, sepatu, dompet, dll.
Jika
sudah seperti ini, sekali lagi cara yang paling aman adalah memilih
hanya produk yang sudah ada lebel halal resmi. Karena untuk mendapatkan
label ini dilakukan audit yang sistematis dan menyeluruh mulai dari
bahan baku/ingredient, proses produksi, peralatan produksi, kemasan,
bahkan sampai ke komitmen dari manajemennya.
1.Dampak Derasnya Barang Impor dari Negeri Non Muslim.
Walaupun
import bahan makanan dari luar negeri telah diatur sedemikian rupa,
namun masih banyak impor yang dilakukan secara illegal. Sebutlah kasus
masuknya paha ayam dari Amerika beberapa tahun silam atau masuknya hati
sapi illegal yang lebih murah daripada lokal. Keduanya kemungkinan besar
berstatus haram karena tidak disembelih secara Islami.
Belum
lagi penggunaan produk impor yang tidak sesuai peruntukannya. Contohnya
saja ada indikasi kulit babi yang diimpor untuk produk sandang, oleh
oknum tertentu sisa-sisa potongannya dimanfaatkan juga untuk dijadikan
krupuk kulit yang sekilas mirip dengan krupuk kulit dari sapi.
Untuk
produk-produk dalam kemasan, masyarakat yang tidak hati-hati dan awam
sering terkecoh membeli produk hasil impor yang belum jelas
kehalanannya. Contoh saja coklat, keju, susu, biscuit dan sebagainya.
Sepertinya “asumsi” yang salah seperti dibahas di atas ditambah tidak
jelasnya keterangan ingredient yang dicantumkan dalam kemasan, (karena
menggunakan bahasa dan istilah asing) memungkinkan terkonsumsinya produk
haram ini oleh orang Muslim.
Selain
produk pangan, perlu juga diwaspadai produk lainnya seperti kosmetik,
obat-obatan, sabun mandi, pembersih wajah, bahkan bahan jaket, dompet,
sandal, kuas bulu dan lainya yang kemungkinan berasal dari bahan haram.
Jangan
sampai niat kita memebersihkan atau mensucikan tubuh malah menghasilkan
hal sebaliknya. Contohnya saja mandi menggunakan sabun yang mengandung
lemak babi, keramas dengan menggunakan shampoo yang mengandung tulang
babi (untuk menimbuklan efek kilau seperti mutiara), atau mencuci muka
dengan menggunakan pembersih muka yang mengandung karbon aktif yang
berasal dari arang tulang babi.
Jangan
pula sampai ibadah kita yang hanya bisa sah dilakukan setelah kita
membersihkan diri dari najis justru di cemari najis. Ini bisa saja
terjadi jika sehabis wudhu kita menggunakan sandal dari kulit babi, atau
saat sholat di kantong kita ada dompet dari kulit babi. Walau ditinjau
dari sudut pandang fikih masih ada perbedaan pendapat tentang haram dan
tidaaknya penggunaan kulit babi ini, namun selayaknyalah kita
berhati-hati dari kemungkinan tidak diterimanya ibadah kita.
2.Kecurangan dan pengelabuan oleh produsen dan pedagang
Persaingan
yang ketat dalam dunia dagang, ditambah keinginan untuk mendapatkan
keuntungan berlipat, tidak jarang membutakan mata hati para oknum
pedagang untuk mengelabui pembelinya dengan barang-barang haram.
Kejadian
yang sering terjadi adalah pencampuran daging haram seperti babi,
daging bangkai (mati sebelum disembelih), daging tikus, anjing dan atau
daging halal kadaluarsa yang di rekondisikan. Untuk daging segar mungkin
sebagian masyarakat bisa membedakannya, namun untuk daging yang telah
diolah menjadi masakan atau produk olehan seperti bakso, nugget dan
lainnya cukup sulit untuk mendeteksinya.
Masalah
lainnya adalah berkaitan dengan label halal yang “self claim”, dimana
label tersebut di buat sendiri tanpa adanya pengujian oleh badan yang
berkompeten. Ironisnya masyarakat Muslim banyak yang belum faham dan mudah percaya
jika pada suatu produk, rumah makan, atau catering dicantumkan label
halal. Mereka belum bisa membedakan label mana yang dikeluarkan oleh
LP-POM MUI dan mana yang merupakan “self claim”.
3.Lemahnya regulasi dalam perlindungan konsumen Muslim
Sertifikasi
Halal di Indonesia “tidaklah diwajibkan” namun bersifat sukarela. Hanya
produsen yang “mau” mensertifikasi produknya dengan label halal yang
terkena syarat sertifikasi halal. Ini menjadi ironi bagi negeri dengan
penduduk muslim terbesar di dunia ini.
Disisi
lain, implementasi dan pengawasan terhadap di patuhinya undang-undang
ini juga dirasakan masih sangat lemah. Contoh kasus yang telah kita
bahas diatas adalah masalah penggunaan label halal self claim. Padahal
peraturannya, barangsiapa ingin mencantumkan label halal pada produknya
maka dikenakan kewajiban untuk melalui proses dan persyaratan yang telah
ditetapkan. Namun pelanggaran akan hal ini masih marak terjadi. (Lihat
artikel “Mewaspadai Label Halal” untuk lebih jelasnya).
Contoh
kasus lainnya adalah maraknya kecurangan dalam perdagangan seperti
dibahas di muka, menunjukan betapa lemahnya pengawasan dan perlindungan
terhadap masyarakat Muslim.
Apa yang harus Kita lakukan?
Mensikapi masalah-masalah yang diuraikan di atas, adalah menjadi urgent
bagi kita seorang Muslim untuk mensiasati agar tidak menjadi korban
dari kondisi ini. Yang paling utama untuk dilakukan adalah membekali
diri dengan pengetahuan yang memadai dan kesadaran akan kewajiban
menjaga diri dan keluarga dari barang haram.
Namun
tentu saja ini tidak cukup. Sebagai bagian dari ibadah dan kewajiban
kita bersama, adalah mewujudkan apa yang di perintahkan Allah SWT dalam
diri, keluarga dan masyarakat kita, termasuk dalam masalah halalan toyyiban.
Tidak bisa dikatakan Muslim sejati jika kita berdiam diri tidak
melakukan apa-apa untuk merubah keadaan. Rasullullah bersabda : barangsiapa tidak peduli dengan urusan umatku, maka dia tidak termasuk golonganku. Maka sampaikanlah artikel sederhana ini ke saudara dan teman-teman Anda.
Pada artikel selanjutnya berjudul “Urgensi masyarakat Sadar Halal”
akan dibahas lebih detail realita kesadaran masyarakat muslim,
pentingnya pemahaman dan kesadaran masyarakat dan bagaimana
mewujudkannya.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca Artikel saya. Alangkah indahnya jika anda meninggalkan sebuah komentar.