Friday, 22 February 2013

Muslim Indonesia Dikepung Produk Pangan Haram

Banyak Muslim Indonesia belum menyadari bahwa sehari-hari kita dikelilingi oleh bahan pangan haram maupun subhat. Bahkan mungkin tanpa disadari, tubuh kita dan keluarga kita telah terkontaminasi oleh bahan pangan haram. Padahal cukup jelas peringatan dari Rasulullah: “Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya” (HR Tirmidzi).
Ketidaktahuan dan ketidak pedulian dari konsumen Muslim saat ini makin menumbuh suburkan maraknya produksi dan perdagangan pangan haram. Pada artikel ini PusatHalal.com ingin sedikit berbagi tentang realita di sekitar kita yang perlu diketahui, diwaspadai dan di siasati agar kita tidak terjebak untuk menggunakan atau mengkonsumsi bahan pangan haram dan subhat.
Setidaknya ada empat aspek yang perlu kita ketahui yang berperan besar dalam menghasilkan dan menyuburkan peredaran produk-produk haram dan subhat di sekitar kita yaitu :

1.Dampak Perkembangan Teknologi Pangan
Perkembangan teknologi pangan, selain berdampak positif bagi manusia, disisi lain perlu dicermati pula dampak negatifnya. Salah satu dampaknya adalah makin kompleksnya proses pengolahan dan distribusi bahan pangan, sehingga berpotensi terjadinya penggunaan atau pencampuran bahan haram. Hal ini mempersulit penentuan halal dan haramnya suatu produk pangan oleh kalangan awam karena perlu pengetahuan yang memadai untuk mengetahui apakah produk yang diproduksi halal atau tidak. Cara paling aman, masyarakat Muslim cukup mempercayakan kepada lembaga terkait yang berkompetensi untuk melakukannya. Namun mengingat produk-produk yang bersertifikat halal resmi masih relatif sedikit, karena terdesak kebutuhan dan ketidaktahuan seringkali masyarakat dengan mudah menganggap “halal” suatu produk yang belum bersertifikat halal hanya berdasarkan “asumsi” semata.
Satu contoh yang mudah saja, ketika memilih air mineral dalam kemasan, masyarakat dengan mudah “ber-asumsi” bahwa produk ini halal karena hanya air saja. Padahal kalau dicermati proses penyaringan air mineral, banyak pabrik menggunakan arang sebagai penyaring. Sedangkan arang ini banyak yang berasal dari tulang hewan yang di bakar. Jika arang ini diimpor dari Negara non-muslim, sangat besar kemungkinan berasal dari tulang babi (karena paling banyak dikonsumsi dan harganya jauh lebih murah). Dr Anton Apriyantono dalam beberapa tulisannya mengungkapkan kaidah fikih: jika bahan yang haram (walau sedikit) bercampur dengan yang halal, maka status dari bahan tersebut adalah haram. Jadi jangan heran atau dianggap berlebihan ketika membeli air mineral-pun kita perlu melihat logo halalnya. Walaupun yang tidak berlogo halal belum tentu juga haram, namun karena kemajuan teknologi ini, menurut hemat kami statusnya menjadi subhat, kecuali kita mengethui persis proses produksinya.
Artikel ini tidak akan membahas secara detail berkaitan teknologi pangan ini, namun hanya gambaran umumnya saja agar kita waspada dan “lebih memilih produk yang sudah berlabel halal resmi” dibanding yang tidak ada labelnya. Jangan sampai kita terjebak mengkonsumsi produk-produk haram gara-gara “asumsi” yang “asal” seperti diatas.
Dalam konteks makanan, Dr Anton Apriyantono mendefinisikan makanan halal sebagai berikut:
  • Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
  • Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti : bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
  • Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari'at Islam.
  • Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dulu harus dibersihkan dengan tata cara syari'at Islam
  • Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Dewasa ini konteks halal telah meluas tidak hanya untuk makanan dan minuman saja, namun juga obat-obatan, vitamin, supllemen, vaksin dan kosmetika. Karena tak jarang produk-produk tersebut menggunakan bahan haram dan najis.
Dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh MUI yang diikuti team PusatHalal beberapa waktu lalu, saat membahas tentang teknologi pangan, kami ditunjukan dua buah peta berkaitan penggunaan dan distribusi bahan haram. Dua peta ini membuka mata kami tentang begitu kompleksnya penggunaan dan peredaran bahan haram dalam teknologi pangan. (lihat gambar 1 dan gambar 2 dibawah ini)
Gambar 1 adalah peta secara umum bahan-bahan haram yang sering digunakan dalam produksi produk pangan, obat dan kosmetika. Gambar 2 menggambarkan lebih detail salah satu bahan haram yang sering dipakai yaitu “babi”. Perhatikan bahwa hampir semua anggota tubuh babi digunakan dalam teknologi dan pembuatan produk pangan, kosmetik dan obat-obatan.
Kalau kita perhatikan dengan seksama peta-peta dibawah, bisa diambil kesimpulan bahwa banyak produk yang mungkin sekilas tidak mengandung bahan haram ternyata berpotensi mengandung bahan haram. Kemungkinan makin besar jika produknya atau bahan-bahanya di datangkan dari negeri non-muslim. Khusus babi, penggunaannya begitu luas mengingat kemudahan berkembang biak, pemeliharaan yang mudah dan harganya yang murah. Dijelaskan disini babi sekali beranak bisa mencapai 14 ekor (bandingkan dengan sapi dan kambing yang hanya 1-2 ekor). Makanannya pun mudah, karena babi memakan apa saja, termasuk (maaf) kotorannya sendiri.
Belum lagi kalau kita telisik tentang proses dan peralatan yang digunakan dalam produksi dan distribusi. Walau komposisi produk semuanya halal, namun jika peralatan yang dipakai dalam produksi dan distribusi digunakan juga untuk produk yang mengandung bahan haram, maka potensi pencampuran atau kontaminasi dari peralatan akan tetap ada.
produk turunan
Gambar 1 : Peta Bahan Pangan Haram (sumber LP-POM MUI)
peta babi
Gambar 2 : Peta Babi (Sumber : LP-POM MUI)
Menurut Ust Nanung Danar Dono, dosen dan peneliti dari UGM penggunaan bagian-bagian tubuh babi sudah begitu meluas di dunia industri, diantaranya:
Lemak
•Lemak & gliserin : softdrink, bahan kosmetik (facial, hand & body lotion), sabun,bahan roti, eskrim, dll.
•Emulsifier : Lesitin, E471-E476, dll (tapi ingat tidak semua kode E merujuk ke Babi).
•Lard (lemak babi) : coklat, pengempuk / pelezat rerotian, masakan, dll.
•Minyak : penyedap masakan
•Bahan starter Vetsin (kasus Ajinomoto)
Daging
•Sumber protein hewani yang murah: ham, pork, sausage (sosis), dendeng
•Daging babi empuk, serat halus, dan rasanya lezat.
•Dapat dipakai sebagai campuran bakso, siomay, bakmi goreng, dll.
Tulang
•Industri pariwisata : patung, dll.
•Industri makanan/minuman : arang tulang sebagai filter penyaring air mineral.
•Industri obat : gelatin sebagai bahan soft capsule dan soft candy (permen), penghilang keruh fruit juice.
•Industri pertukangan : bahan lem, dll
Bulu
•Bahan kuas (BRISTLE): kuas roti, kuas cat tembok, kuas lukis.
•Laporan Badan Pusat Statistik (2002) : Periode Januari – Juni 2001, Indonesia mengimpor boar bristle & pig/boar hair se-jumlah 282,983 ton (senilai 1.713.309 US $)
Organ Dalam
•Transplantasi : ginjal, hati, jantung
•Plasenta : kosmetika (facial, hand & body lotion), sabun, dll.
•Usus : sosis, benang jahit luka, dll.
•Enzim pencernaan : amilase, lipase, tripsin, pankreatin, pepsin, dll.
Kotoran
•   Pupuk tanaman apel di Jepang
•   Pupuk sayuran (Baturraden,, Temanggung, Wonosobo, dll.)
•   Darah babi untuk Black Pudding.
Kulit
  • Industri kulit (leather handicrafts): tas, sepatu, dompet, dll. 
Jika sudah seperti ini, sekali lagi cara yang paling aman adalah memilih hanya produk yang sudah ada lebel halal resmi. Karena untuk mendapatkan label ini dilakukan audit yang sistematis dan menyeluruh mulai dari bahan baku/ingredient, proses produksi, peralatan produksi, kemasan, bahkan sampai ke komitmen dari manajemennya.
1.Dampak Derasnya Barang Impor dari Negeri Non Muslim.
Walaupun import bahan makanan dari luar negeri telah diatur sedemikian rupa, namun masih banyak impor yang dilakukan secara illegal. Sebutlah kasus masuknya paha ayam dari Amerika beberapa tahun silam atau masuknya hati sapi illegal yang lebih murah daripada lokal. Keduanya kemungkinan besar berstatus haram karena tidak disembelih secara Islami.
Belum lagi penggunaan produk impor yang tidak sesuai peruntukannya. Contohnya saja ada indikasi kulit babi yang diimpor untuk produk sandang, oleh oknum tertentu sisa-sisa potongannya dimanfaatkan juga untuk dijadikan krupuk kulit yang sekilas mirip dengan krupuk kulit dari sapi.
Untuk produk-produk dalam kemasan, masyarakat yang tidak hati-hati dan awam sering terkecoh membeli produk hasil impor yang belum jelas kehalanannya. Contoh saja coklat, keju, susu, biscuit dan sebagainya. Sepertinya “asumsi” yang salah seperti dibahas di atas ditambah tidak jelasnya keterangan ingredient yang dicantumkan dalam kemasan, (karena menggunakan bahasa dan istilah asing) memungkinkan terkonsumsinya produk haram ini oleh orang Muslim.
Selain produk pangan, perlu juga diwaspadai produk lainnya seperti kosmetik, obat-obatan, sabun mandi, pembersih wajah, bahkan bahan jaket, dompet, sandal, kuas bulu dan lainya yang kemungkinan berasal dari bahan haram.
Jangan sampai niat kita memebersihkan atau mensucikan tubuh malah menghasilkan hal sebaliknya. Contohnya saja mandi menggunakan sabun yang mengandung lemak babi, keramas dengan menggunakan shampoo yang mengandung tulang babi (untuk menimbuklan efek kilau seperti mutiara), atau mencuci muka dengan menggunakan pembersih muka yang mengandung karbon aktif yang berasal dari arang tulang babi.
Jangan pula sampai ibadah kita yang hanya bisa sah dilakukan setelah kita membersihkan diri dari najis justru di cemari najis. Ini bisa saja terjadi jika sehabis wudhu kita menggunakan sandal dari kulit babi, atau saat sholat di kantong kita ada dompet dari kulit babi. Walau ditinjau dari sudut pandang fikih masih ada perbedaan pendapat tentang haram dan tidaaknya penggunaan kulit babi ini, namun selayaknyalah kita berhati-hati dari kemungkinan tidak diterimanya ibadah kita.
2.Kecurangan dan pengelabuan oleh produsen dan pedagang
Persaingan yang ketat dalam dunia dagang, ditambah keinginan untuk mendapatkan keuntungan berlipat, tidak jarang membutakan mata hati para oknum pedagang untuk mengelabui pembelinya dengan barang-barang haram.
Kejadian yang sering terjadi adalah pencampuran daging haram seperti babi, daging bangkai (mati sebelum disembelih), daging tikus, anjing dan atau daging halal kadaluarsa yang di rekondisikan. Untuk daging segar mungkin sebagian masyarakat bisa membedakannya, namun untuk daging yang telah diolah menjadi masakan atau produk olehan seperti bakso, nugget dan lainnya cukup sulit untuk mendeteksinya.
Masalah lainnya adalah berkaitan dengan label halal yang “self claim”, dimana label tersebut di buat sendiri tanpa adanya pengujian oleh badan yang berkompeten. Ironisnya masyarakat Muslim banyak yang belum faham dan mudah percaya jika pada suatu produk, rumah makan, atau catering dicantumkan label halal. Mereka belum bisa membedakan label mana yang dikeluarkan oleh LP-POM MUI dan mana yang merupakan “self claim”.
3.Lemahnya regulasi dalam perlindungan konsumen Muslim
Sertifikasi Halal di Indonesia “tidaklah diwajibkan” namun bersifat sukarela. Hanya produsen yang “mau” mensertifikasi produknya dengan label halal yang terkena syarat sertifikasi halal. Ini menjadi ironi bagi negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini.
Disisi lain, implementasi dan pengawasan terhadap di patuhinya undang-undang ini juga dirasakan masih sangat lemah. Contoh kasus yang telah kita bahas diatas adalah masalah penggunaan label halal self claim. Padahal peraturannya, barangsiapa ingin mencantumkan label halal pada produknya maka dikenakan kewajiban untuk melalui proses dan persyaratan yang telah ditetapkan. Namun pelanggaran akan hal ini masih marak terjadi. (Lihat artikel “Mewaspadai Label Halal” untuk lebih jelasnya).
Contoh kasus lainnya adalah maraknya kecurangan dalam perdagangan seperti dibahas di muka, menunjukan betapa lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat Muslim.
Apa yang harus Kita lakukan?
Mensikapi masalah-masalah yang diuraikan di atas, adalah menjadi urgent bagi kita seorang Muslim untuk mensiasati agar tidak menjadi korban dari kondisi ini. Yang paling utama untuk dilakukan adalah membekali diri dengan pengetahuan yang memadai dan kesadaran akan kewajiban menjaga diri dan keluarga dari barang haram.
Namun tentu saja ini tidak cukup. Sebagai bagian dari ibadah dan kewajiban kita bersama, adalah mewujudkan apa yang di perintahkan Allah SWT dalam diri, keluarga dan masyarakat kita, termasuk dalam masalah halalan toyyiban. Tidak bisa dikatakan Muslim sejati jika kita berdiam diri tidak melakukan apa-apa untuk merubah keadaan. Rasullullah bersabda : barangsiapa tidak peduli dengan urusan umatku, maka dia tidak termasuk golonganku. Maka sampaikanlah artikel sederhana ini ke saudara dan teman-teman Anda.
Pada artikel selanjutnya berjudul “Urgensi masyarakat Sadar Halal” akan dibahas lebih detail realita kesadaran masyarakat muslim, pentingnya pemahaman dan kesadaran masyarakat dan bagaimana mewujudkannya.

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih telah membaca Artikel saya. Alangkah indahnya jika anda meninggalkan sebuah komentar.