Makanan dan Minuman yang Diharamkan
Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepadanya (Al-Maaidah: 88).
Ayat
tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan
yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang
dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan,
gizi, estetika dan lainnya.
Sesuai
dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya
berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman diluar yang
diharamkan adalah halal. Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit
makanan dan minuman yang diharamkan tersebut. Walaupun demikian, pada
zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif
kompleks, apalagi yang menyangkut produk-produk bioteknologi.
Makanan yang Diharamkan
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al-Baqarah:173).
Dari ayat diatas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:
-
Bangkai: yang termasuk kedalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (Al-Maaidah:3). Bangkai yang boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu bangkai ikan dan belalang (Hamka, 1982).
-
Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (Al-An’aam:145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan (Sabiq, 1987). Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa, kebolehannya didasarkan pada hadis (Hamka, 1982).
-
Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. Hal ini misalnya tersirat dalam Keputusan Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan seluruh unsur-unsurnya (Majelis Ulama Indonesia, 2000).
- Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut Hamka (1984), ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (penulis mengartikan diantaranya semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram untuk dijadikan bahan pangan seperti berlaku pada bangkai dan babi.
Masalah
pembacaan basmalah pada waktu pemotongan hewan adalah masalah
khilafiyah (Hamka, 1982), ada yang mengharuskan membacanya, ada yang
hanya menyunahkan saja (Hassan, 1985). Yang mengharuskan membacanya
berpegang pada surat Al-An’aam ayat 121: dan janganlah kamu memakan
binatang yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya),
sesungguhnya hal itu suatu kefasikan…. Bagi mereka yang menyunahkan
membacanya berpegang pada hadis-hadis, diantaranya hadis yang dirawikan
oleh Bukhari, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadis Aisyah bahwa suatu kaum
datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu
apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak. Maka menjawab Rasulullah
saw: “Kamu sendiri membaca bismillah atasnya, lalu makanlah!” Berkata
yang merawikan: “Mereka itu masih dekat kepada zaman kufur.” (Artinya
baru masuk Islam) (Hamka, 1982).
Ada
satu masalah lagi yang masih menjadi khilafiyah yaitu sembelihan ahli
kitab, ada yang membolehkan (Hamka, 1982; Qardlawi, 1976) yang
didasarkan diantaranya firman Allah dalam surat Al-Maaidah ayat 5: … dan makanan orang-orang yang diberi AlKitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka….
Kebolehan memakan hewan ternak (selain babi) hasil sembelihan ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) ini sepanjang cara penyembelihannya sesuai
dengan cara penyembelihan secara islami (menggunakan pisau yang tajam,
memotong urat lehernya dan hewan mengeluarkan darahnya pada waktu
disembelih yang berarti hewan belum mati pada waktu disembelih walaupun
dipingsankan dulu sebelumnya) (Hamka, 1982). Yang mengharamkan
sembelihan ahli kitab didasarkan pada ayat 121 surat Al-An’aam seperti
dituliskan diatas, dimana mereka menyembelih tidak atas nama Allah.
Disamping
keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut diatas, terdapat pula
kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti
dijelaskan dalam surat Al-A`raaf:157 .....dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk......
Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah
dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Abbas yang dirawikan oleh
Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah
saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis),
dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung. Sebuah hadis lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi hadis sama dengan hadis sebelumnya).
Hewan-hewan
lain yang haram dimakan berdasarkan keterangan pada hadis-hadis ialah
himar kampung, bighal, burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus,
anjing, anjing gila, semut, lebah, burung hud-hud, burung shard (Sabiq,
1987). Selain itu, ada lagi binatang yang tidak boleh dimakan yaitu yang
disebut jallalah. Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik
ia unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dll sehingga baunya berubah. Jika
binatang itu dijauhkan dari kotoran (tinja) dalam waktu lama dan diberi
makanan yang suci, maka dagingnya menjadi baik sehingga julukan jallalah
hilang, kemudian dagingnya halal (Sabiq, 1987).
Ada
pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang
dijelaskan dalam hadis sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja.
Pendapat ini dipegang oleh penganut mazhab Maliki (Hamka, 1982; Hassan,
1985; Sabiq 1987). Akan tetapi, dengan menggunakan common sense
saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan
binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung
elang, dsb. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang
lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan diatas.
Ada
pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang
menurut mereka didasarkan pada hadis. Sayangnya, sampai saat ini penulis
hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di
buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber hadisnya yang
jelas selain dari satu hadis yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram
(Hassan, 1975): Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi
bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok
yang ia campurkan didalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga
oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari hadis tersebut, dapat diinterpretasikan
bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan
tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti
kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam hadis tersebut,
mungkin itu hanya hasil qias saja. Jadi seharusnya yang diharamkan hanya
kodok saja, sedangkan hewan yang hidup di dua alam lainnya tidak
diharamkan, kecuali ada hadis yang menyatakan dengan jelas keharaman
hewan-hewan tersebut.
Minuman yang Diharamkan
Dari
semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan
yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan
sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan (semua
hadis-hadis yang digunakan dalam pembahasan minuman yang diharamkan
diperoleh dari Sabiq, 1987). Dari penjelasan Rasulullah tsb jelas bahwa
batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya
sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai
bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari
anggur saja. Akan tetapi penulis menyetujui pendapat yang mengharamkan
semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan
jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian hadis-hadis yang
berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu.
Mengenai
sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin
Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian
daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang
mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur,
korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal.
Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat
mengacaukan akal itu diantaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu
membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti
dapat dilihat pada surat An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan. Dengan demikian berdasarkan ilmu
pengetahuan dapat diartikan sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat
dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang mengakibatkan ingatan kita
terganggu.
Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Maaidah ayat 90-91: Hai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan kebencian
diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu
mengerjakan perbuatan itu.
Dengan
berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas maka kelompok
minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol
(alcoholic beverages) termasuk khamar. Sayangnya, banyak orang
mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang
diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang
sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan
kematian.
Etanol
memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air) yang
terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya
senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa lain
yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum
pada konsentrasi cukup tinggi. Komponen-komponen ini misalnya metanol,
propanol, butanol (Etievant, 1991). Secara umum, golongan alkohol
bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain
yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dll
(Bretherick, 1986).
Secara
umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya
kebanyakan adalah racun. Sebagai contoh, asetaldehida terdapat pada jus
orange walaupun dalam jumlah kecil (3-7 ppm) (Shaw, 1991). Jika kita
lihat sifatnya (dalam bentuk murninya), asetaldehida juga bersifat
narkosis, walaupun hanya menghirup uapnya (Bretherick, 1986). Oleh
karena itu, kita tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari
alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu
apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk kedalam
kelompok khamar. Apabila sudah termasuk kedalam kelompok khamar maka
sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa
kadar alkoholnya.
Apabila
yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas
sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol,
baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut
baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama
pengolahan seperti kecap. Akan tetapi kita mengetahui bahwa buah-buahan
segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk. Disamping itu, apabila alkohol
diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan dengan penjelasan yang
diberikan oleh Rasulullah saw tentang jus buah-buahan dan pemeramannya
seperti tercantum dalam hadis-hadis berikut:
-
Minumlah
itu (juice) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya: Berapa
lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
-
Bahwa
Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw. Nabi meminumnya pada
hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi
menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
- Buatlah minuman anggur!. Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah haram (Hadis tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq, 1987).
Pemeraman
juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari jelas secara
ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan etanol, tetapi
memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga dapat
terlihat pada pembuatan tape. Sebelum diperam pun juice sudah mengandung
alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak
0.15%. Dari pembahasan tersebut diatas jelaslah bahwa pendapat yang
mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan dengan hadis
Rasulullah saw.
Apabila
alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk
sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna,
flavor, parfum, obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari
laboratorium-laboratorium. Jelas hal ini akan sangat menyulitkan.
Disamping itu ingatlah firman Allah dalam surat Al-Maiadah ayat 87: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ada
pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol dapat
digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir tidak
terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua hal;
pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman
tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (Ada pula
yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak merubah
sifat-sifat makanan atau minuman tersebut. Pendapat ini hasil qias
terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak
merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci. Penulis tidak sependapat
dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan dan minuman tidak
bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya merupakan dua hal
yang berbeda).
Kedua,
secara teori tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100
persen apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata
lain apabila etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah
pengolahan juga masih akan terdapat pada produk akhir, walaupun dengan
kadar yang bervariasi tergantung pada jumlah awal etanol dan kondisi
pengolahan yang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium.
Walaupun
bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol, akan tetapi
penggunaan etanol untuk pembuatan bahan pangan harus dibatasi, untuk
menghindari penyalahgunaan dan menghindari perubahan sifat bahan pangan
dari tidak memabukkan menjadi memabukkan. Etanol dapat digunakan dalam
proses ekstraksi, pencucian atau pelarutan, akan tetapi sisa etanol pada
produk akhir harus dihilangkan sedapat mungkin, sehingga hanya tersisa
sangat sedikit sekali. Etanol tidak boleh digunakan sebagai solven akhir
suatu bahan, misal digunakan sebagai pelarut bahan flavor dan pewarna.
Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram
(Hadis Abu Daud). Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan
memabukkan seperti berbagai jenis bahan narkotika termasuk ecstasy
adalah haram.
Disamping
makanan dan minuman yang diharamkan seperti telah dijelaskan diatas,
ada beberapa kaidah fiqih yang sering digunakan dalam menentukan halal
haramnya bahan pangan. Kaidah tersebut diantaranya adalah:
-
Semua yang bersifat najis haram untuk dimakan.
-
Manakala bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram.
-
Apabila banyaknya bersifat memabukkan maka sedikitnya juga haram.
3. Hukum Najis
Pada
saat ini begitu banyak bahan-bahan yang dapat digunakan untuk
kosmetika. Sayangnya, banyak dari bahan-bahan tersebut berasal dari
hewan, bahkan dari manusia. Hal ini jelas akan berdampak pada hukum
kenajisan dari kosmetika tersebut. Tentu saja kosmetika haruslah hanya
terbuat dari bahan-bahan yang tidak najis agar kosmetika tersebut halal
dipakai, apalagi kosmetika yang dipakai pada bagian tubuh yang
berhubungan dengan konsumsi makanan seperti lipstik, bukan hanya tidak
boleh mengandung bahan yang najis tapi juga tidak boleh mengandung bahan
yang haram karena dapat terkonsumsi secara tidak sengaja. Berdasarkan
hal hal yang dikemukakan tersebut maka pentinglah kiranya untuk mengkaji
kembali bahan bahan apa saja yang termasuk kedalam kategori najis ini.
Berdasarkan
kajian terhadap empat kitab berikut ini: 1. Fiqih Islam tulisan
Sulaiman Rasyid, 2. Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq (terjemahan), 3.
Subulus Salam terjemahan oleh Abubakar Muhammad, 4. Bidayatul Mujtahid
tulisan Ibnu Rusyd (terjemahan), ternyata banyak sekali
perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah najis ini dengan berbagai
argumentasinya. Perbedaan terutama dalam hal penafsiran suatu hadis atau
ayat Al-Qur'an, apalagi kalau membaca bukunya Ibnu Rusyd kepala bisa
pening dengan berbagai perbedaan pendapat tersebut. Akan tetapi dengan
mengetahui latar belakang perbedaan pendapat ini justru kita bisa
memilih mana sebetulnya yang paling dapat diterima dan paling lengkap.
Dari kajian ini, buku Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq sebagai yang
paling lengkap dan paling dapat diterima, dalam arti sudah berusaha
mengakomodasi berbagai perbedaan pendapat, kalaupun masih ada yang masih
belum sepakat biasanya beliau sebutkan (walaupun masih perlu dilengkapi
dari buku-buku lain karena masih ada satu dua hal yang masih kurang
dalam buku tersebut).
Berdasarkan buku Fikih Sunnahnya Sayid Sabiq tersebut maka yang termasuk kedalam najis adalah:
1. Bangkai
2. Darah
3. Daging babi
4. Muntah (kalau muntah sedikit dimaafkan)
5. Kencing manusia
6. Kotoran manusia
7. Wadi
8. Madzi
9. Mani
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
11. Binatang jalallah
12. Khamar
13. Anjing
Mengingat
yang banyak menjadi masalah adalah bahan-bahan yang berasal dari hewan,
khususnya bangkai, maka berikut ini akan dijelaskan lebih rinci masalah
bangkai. Dibawah ini dikutipkan langsung apa yang ada dalam buku Sayid
Sabiq (sebagian diringkaskan).
Bangkai
ialah yang mati begitu saja, artinya tanpa disembelih menurut ketentuan
agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang
hidup. Dikecualikan dari itu:
- Bangkai ikan dan belalang
- Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain.
- Tulang
dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta apa yang
sejenis dengan itu hukumnya suci. Dasar yang digunakan adalah hadis:
-
Berkata
Az-Zuhri mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan
lain-lain "Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambilnya
sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa"
(Riwayat Bukhari).
-
"Majikan
dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati.
Kebetulan Rasulullah saw. lewat, maka sabdanya: "Kenapa tidak tuan-tuan
ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?". "Bukankah itu
bangkai?" ujar mereka. "Yang diharamkan ialah memakannya", ujar Nabi
pula." (Hadis riwayat Jama'ah kecuali Ibnu Majah yang didalam riwayatnya
tersebut "Dari maimunah", sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa'i
tidak disebutkan soal menyamak).
-
Dan
dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: "Katakan:
Menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang
diharamkan kecuali bangkai" (sampai akhir ayat 145 dari surat Al An'am).
Kemudian ulasannya: "Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan.
Mengenai kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal." (Hadis
riwayat Ibnul Mundzir dan Ibnu Hatim).
-
Berkata
Az-Zuhri mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan
lain-lain "Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambilnya
sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa"
(Riwayat Bukhari).
Dari
hadis hadis yang dikemukakan diatas maka ulama menetapkan apa yang
disebut dengan istihalah, yakni zat yang mengalami proses perubahan
semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum: dari benda najis atau
mutanajjis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan
menjadi benda yang dibolehkan (mubah). Contoh dalam hal ini yaitu kulit
bangkai yang tadinya najis menjadi tidak najis manakala telah disamak.
Masalahnya sekarang, masih perlu ditetapkan apa yang dimaksud dengan
perubahan sifat-sifat tersebut secara lebih operasional sehingga kita
dapat dengan lebih mudah mana mana sebetulnya yang bisa masuk kedalam
istihalah. Sebagai contoh, gliserin dari lemak hewan dibuat dengan cara
menghidrolisa lemak hewan sehingga asam lemak yang ada pada trigliserida
lemak hewan terlepas dan tinggalah gliserin yang dapat dipisahkan dari
asam lemaknya serta bahan lainnya. Pertanyaannya, apakah gliserin ini
suci?, atau apakah gliserin ini termasuk istihalah? Tentu akan banyak
sekali bahan-bahan kosmetika yang serupa dengan gliserin ini, oleh
karena itu lagi-lagi sangatlah diperlukan adanya kepastian hukum
terhadap bahan-bahan ini agar kita tidak ragu-ragu dalam menggunakannya.
Untuk itu, diperlukan kerjasama antara para ulama dan ilmuwan dalam
menetapkan status hukum bahan-bahan kosmetika ini.
Perlu
diingat bahwa dalam penetapan suatu hukum, bukan hanya masalah materi
saja yang dipertimbangkan, akan tetapi masalah-masalah lain seperti
masalah pemanfaatan barang haram (intifa'). Dalam kasus babi misalnya,
pemanfaatan babi dan unsur-unsur babi tidak diperkenankan (Ijma sebagian
ulama, difatwakan oleh MUI pada tahun 1994). Itu sebabnya ada yang
berpendapat jika babi haram dan najis maka turunannya pun tidak boleh
dimanfaatkan, tentu bisa ada pendapat lainnya yang tidak sama mengingat
ada pula Imam yang membolehkan menggunakan bulu babi sebagai benang.
Walaupun demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa masalah najis ini belum
banyak dibahas lagi, khususnya dalam kaitan penggunaannya untuk
kosmetika dan toilettries, secara lebih khusus lagi adalah bahan
bahan turunan dari bangkai dan babi yang ditengarai banyak digunakan
dalam kosmetika dan toilettries.
Sebagai
kelengkapan dalam masalah hukum Islam mengenai makanan dan minuman
serta bahan-bahan najis maka pada Lampiran 1 disajikan fatwa fatwa MUI
yang telah ditetapkan dalam masalah ini.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca Artikel saya. Alangkah indahnya jika anda meninggalkan sebuah komentar.