Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang haji mabrur ,
والْحَجُّ
الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji
yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.” [HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349)]
Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji
mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang
sah. Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti
menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban
berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah
terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang
hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah
haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.”
Tanda-Tanda Haji Mabrur
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji
seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur?
Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita
tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak.
Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan
al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur
tidaknya haji seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang
telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji
adalah harta yang halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang halal,
sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ
طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh
Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik". [HR. Muslim (1015).]
Orang yang ingin hajinya mabrur harus
memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang
halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji
tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi
mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair :
Jika anda haji dengan harta tak halal
asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya
rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan
ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling
tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus
ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan
penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga
memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin
sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar)
berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat
baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.”
Pada zaman dahulu ada orang yang
menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur
di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia
merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun
teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa
merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah
yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri,
memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya,
ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak
amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada
waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur
adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari
perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan
untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji
mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ
وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi
makan dan berkata-kata baik.” [HR.
al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/262 (no. 1264)]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama
ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam
semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas,
dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal.
Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ
مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ
جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq
dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” [ QS.
Al-Baqarah 197.]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ
يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang
siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada
keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [ HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah
lafazh Ahmad di Musnad (7136)]
Rafats adalah semua bentuk kekejian
dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau
membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan
kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah
fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara
berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram.
Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan,
sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya
mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik
berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang
di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah
amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan
buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.
Ibadah haji adalah madrasah. Selama
kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk
pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan
untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat
praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan
ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun
yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari
waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi
lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal
yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu
adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah
haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho
Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur
adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai
akhirat.” Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan
buruk yang dilakukan sebelum haji.”
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,
“Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu
dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan
mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
Penutup
Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya
haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya
sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini
ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari
Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa
agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada,
maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu
a’lam.__________________________
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca Artikel saya. Alangkah indahnya jika anda meninggalkan sebuah komentar.