TIDAK ADA BENDA KERAMAT DI DALAM AGAMA ISLAM
Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, Rabb semesta alam. Tiada yang
berhak diibadahi kecuali Dia semata, yang telah mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab demi kebahagian manusia di dunia dan di akhirat
kelak. Dia-lah tempat meminta dan bergantung dalam segala keadaan. Baik
di saat suka maupun duka, di saat senang maupun susah, di saat sehat
maupun sakit. Dia-lah yang memberi kesembuhan atas segala penyakit.
Salawat beserta salam kita ucapkan untuk Nabi kita Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , Nabi pembawa rahmat untuk seluruh alam. Nabi yang
amat mencintai umatnya, yang telah menyuruh umatnya untuk memohon dan
meminta pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
Semoga salawat juga terlimpah buat keluarga, para sahabat beliau dan
orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka sampai hari kemudian.
Para pembaca yang kami muliakan, pada kesempatan kali ini kita akan
membahas peristiwa menyedihkan yang melanda negeri kita; yang bila
dilihat dari sisi syar'i lebih dahsyat dari tsunami atau gempa yang
memporak-porandakan gedung-gedung. Peristiwa itu adalah musibah
kehancuran dan robohnya aqidah umat dilindas batu para dukun cilik.
Betapa tidak, fitnah ini korbannya jauh lebih dahsyat dari segala
bencana. Betapa rapuhnya aqidah umat kita, yang hanya dengan tiga batu
kerikil milik tiga anak cilik saja mampu merobohkannya. Bagaimana
seandainya mereka dihadapkan kepada fitnah Dajjal yang mampu menyuburkan
bumi yang kering kerontang; menghidupkan orang mati dan lainnya ? Tentu
tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan umat ini. jika
mereka dihadapkan kepada fitnah yang dimiliki Dajjal itu. Kita memohon
kepada Allah Azza wa Jalla untuk mengembalikan umat kepada agama yang
lurus.
Perbuatan syirik itu telah menjadi berita hangat dan tontonan serta
menyita perhatian berbagai tokoh nasional. Amat sedikit sekali yang
mengomentari peristiwa tersebut dengan nilai-nilai aqidah dan sebagian
besar malahan menyalahkan pemerintah terutama departemen kesehatan.
Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan keilmuan, ternyata dalam hal
agama, kita masih primitif. Seharusnya yang perlu menjadi perhatian
pertama adalah pendidikan umat dengan ilmu agama dan aqidah yang lurus.
Agar mereka tidak dapat dihanyutkan oleh berbagai kesyirikan yang
diungkapkan dengan istilah-istilah yang menyesatkan. Semoga kejadian ini
menjadi pertimbangan berbagai pihak dalam menentukan kebijakan sistem
pendidikan kita ke depan. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang bersumber
dari penelitian manusia tidak mampu mengeluarkan dari keprimitifan dalam
beragama.
Memang Nabi kita Shallallahu ’alaihi wa sallam dari jauh-jauh hari sudah
memperingatkan bahwa umat ini akan kembali terjerumus ke dalam
kesyirikan dan kesesatan umat-umat yang lalu
« لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ
لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». متفق عليه
"Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian,
sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka
masuk lubang Dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti". [HR.
Bukhâri dan Muslim]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Allah Azza
wa Jalla sangat membenci orang yang melakukan kebiasaan jahiliyah:
عَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلاَثَة
مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةَ
الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطْلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُرِيْقَ
دَمَهُ)). رواه مسلم
"Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Manusia yang paling dibenci
Allah Azza wa Jallaada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang
yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar
darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya)". [HR.
Muslim]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengubur kebiasaan
jahiliyah itu di bawah telapak kakinya, sebagaimana beliau nyatakan :
((أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمِيْ مَوْضُوْعٌ)) رواه مسلم
"Ketahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah terkubur di bawah telapak kakiku "[HR. Muslim]
Di antara kebiasaan jahiliyah yang dilakukan manusia di abad modern ini
adalah kepercayaan kepada benda-benda mati. Di zaman jahiliyah manusia
sering menggantungkan harapannya kepada benda-benda mati. Jika mereka
menemukan sebuah batu yang amat besar atau berbentuk menyerupai makhluk
hidup, atau memiliki warna yang agak asing atau bentuknya agak aneh,
maka mereka meyakini bahwa batu-batu itu memiliki keistimewaan. Jika
ukurannya kecil mereka membawanya pulang, jika tidak mereka mendatangi
tempat batu itu. Mereka berkeyakinan bahwa batu-batu itu dapat menangkal
sihir, menghentikan aliran darah atau memudahkan kelahiran. Ada yang
digantungkan di leher atau diikatkan di tangan dan di kaki wanita yang
akan melahirkan. Ada lagi batu yang disebut ”batu akik”, mereka yakini
dapat membuat diam seseorang yang mau marah, atau bahkan obat bagi
penyakit ain (mata jahat). Ada pula yang disebut batu zamrud, mereka
yakini dapat mengobati penyakit ayan. Padahal semua itu adalah khurafat
dan khayalan belaka.
Sebagaimana halnya al-Lâta adalah batu berhala yang dianggap berkah atau
sakti. Mereka juga mempertuhankan batu; jika mereka menghadapi
paceklik, kekurangan pangan, hujan tidak turun, atau ditimpa wabah
penyakit, mereka datang ke tempat batu-batu yang mereka anggap berkah
atau sakti.
Ibnu Katsîr berkata: "Al Lâta" adalah batu besar berwarna putih yang
diukir; di atasnya dibangun rumah yang dihiasi kelambu dan dijaga; di
sekelilingnya lapangan luas yang dimuliakan oleh penduduk Thâif. Mereka
membanggakannya di atas suku-suku Arab lain [1].
Demikian pula jika mereka menemukan pohon besar yang rindang daunnya,
mereka menganggap sakti dan mereka duduk di bawahnya, atau membawa
sesajian ke sana, atau menggantungkan pedang mereka pada dahan-dahannya.
Menurut khayalan mereka, pohon itu dapat memberi keberkahan dan
kekuatan tertentu pada diri mereka atau senjata-senjata mereka,
sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْثِيْ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَىْ حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ
عَهْدٍ بِكُفْرٍ، وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا
وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ، يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ،
فَمَرَّرْناَ بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ إجْعَلْ لَناَ
ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (اللهُ أَكْبَرُ! إِنَّهَا السُّنَنُ،
قُلْتُمْ ـ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ـ كَمَا قَالَتْ بَنُوْ
إِسْرَائِيْلُ لِمُوْسَى: (إجْعَلْ لَنَا إلهاً كَماَ لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ
إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ) لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ". [رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ]. هَذاَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ
صَحِيْحٌ.
Dari Abu Waqid Al Laysie, ia berkata: “Kami keluar bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, saat itu kami baru saja keluar
dari kekufuran. Orang-orang musyrikin memiliki sebatang pohon yang
besar, mereka duduk di sisinya dan menggantungkan senjata-senjata mereka
padanya. Pohon itu disebut pohon Dzâtu Anwâth. Lalu kami melewati
sebatang pohon yang besar pula. Maka kami berkata:”Ya Rasulullâh
jadikanlah untuk kami pohon Zatu Anwâth, sebagaimana mereka memiliki
pohon Dzâtu Anwâth!” Rasululâh n pun bertakbîr (Allâhu Akbar) Demi Zat
yang jiwaku berada ditangannya sesungguhnya ucapan kalian ini
sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa Alaihissallam: "Jadikanlah
untuk kami sembahan sebagaiman mereka memiliki sesembahan! Musa berkata:
sesungguhnya kalian kaum yang bodoh". Sesungguhnya kalian akan
mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian"[HR Tirmidzi]
Sebagaimana halnya berhala mereka "Al-'Uzza", Ibnu Katsîr berkata:
"Al-'Uzza" adalah pohon yang dibangun rumah di bawahnya dan dihiasi
kelambu. Orang-orang Quraisy mengagungkannya [2].
Banyak kisah tentang batu di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , tapi beliau maupun sahabat tidak menjadikan ajimat maupun benda
sakti seperti kisah-kisah berikut ini:
1. Kisah Batu Khandak.
Berkata Amru bin 'Auf: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggariskan kepada kami khandak (parit yang dalam) pada waktu perang
Ahzâb. Lalu ditemukan sebuah batu besar putih yang bulat. Batu tersebut
tidak bisa dihancurkan bahkan membuat alat-alat kami patah. Maka kami
menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu
Rasulullâh n menggambil linggis dari Salmân Al Fârisi dan beliau memukul
batu tersebut dengan sekali pukul. Maka, batu tersebut terbelah dan
mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah, bagaikan sinar lampu di
malam hari yang gelap gulita. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Kemudian dipukul
lagi untuk yang kedua kali, maka batu tersebut terbelah dan mengeluarkan
cahaya yang menyinari kota Madinah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Maka
Rasulullâh memukul lagi untuk yang ketiga kali, maka batu tersebut
terbelah hancur dan mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kaum
Muslimin pun ikut bertakbîr[3].
Para sahabat tidak menganggap sakti batu itu, atau menjadikannya sebagai ajimat, penangkal dan sebagainya.
2. Kisah Batu Yang Memberi Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah sebelum
diangkat menjadi nabi; ada batu yang memberi salam kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau masih mengetahui batu tersebut,
tetapi beliau maupun para sahabat tidak pernah memungutnya atau
membawanya pulang untuk dijadikan penangkal atau alat terapi jika beliau
sakit.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّيْ َلأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ
يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّيْ َلأَعْرِفُهُ الآنَ".
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari sahabat Jabîr bin Samrah, ia berkata bahwa Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda: "Sesungguhnya aku mengetahui sebuah
batu di Mekah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi nabi.
Sesungguhnya aku mengetahuinya sampai sekarang" [HR. Muslim]
3. Batu Hajar Aswad.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Hajar Aswad adalah batu yang paling
mulia dari segala batu. Tapi tidak ada seorangpun dari para sahabat yang
menganggap sakti, apalagi minta kesembuhan kepadanya. Oleh sebab itu
Amirul Mukminin Umar bin Khatâb Radhiyallahu anhu saat menciumnya di
hadapan para kaum Muslimin, beliau berkata:
"إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ
أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُقَبِّلُكِ
مَا قَبَّلْتُكِ". رَوَاهُ الْبُخَارِيْ
"Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak
memiliki mudharat dan tidak pula memberikan manfaat. Jika seandainya aku
tidak melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku
tidak akan menciummu"[HR Bukhari]
Hukum mencium Hajar Aswad hanya sekedar mengikuti sunnah Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat
Umar Radhiyallahu anhu. Tidak sebagaimana yang diyakini oleh kebanyakan
orang-orang yang berebutan untuk menciumnya, bahwa Hajar Aswad dapat
menyembuhkan penyakit, memurahkan rezki, dan dugaan-dugaan khurafat
lainnya.
4. Ka'bah Dan Maqâm Ibrâhîm.
Banyak anggapan dari sebagian orang-orang yang pergi haji dan umrah,
bahwa Ka'bah dan Maqâm Ibrâhîm memililki berbagai kesaktian, sehingga
mereka mengusab-usab bangunan Ka'bah dan Maqâm Ibrâhîm dengan tangan dan
kain mereka. Padahal tidak ada anjuran dalam agama tentang perbuatan
tersebut. Apalagi meyakini dapat memberikan berbagai keistimewaan kepada
manusia.
Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah berkata: "Amat disayangkan, sebagian
orang menjadikan segala ibadahnya hanya untuk bertabarruk (mencari
berkah) semata. Seperti apa yang terlihat bahwa sebagian manusia
mengusap rukun (tiang) yamani lalu mengusapkan ke muka atau dada.
Artinya mereka menjadikan mengusap rukun yamani sebagai tabarruk bukan
untuk berta'abud (beribadah). Ini adalah sebuah kebodohan" [4]. Lalu
beliau menukil ungkapan Amîrul Mukminîn Umar bin Khatab yang kita
sebutkan di atas.
Tidak dipungkiri bahwa Ka'bah atau Masjidil haram memiliki berkah.
Tetapi mengambil berkah bukan dengan mengusap-ngusap dinding masjid atau
Ka'bah. Tetapi beribadah pada tempat tersebut sesuai dengan ketentuan
agama, seperti shalat, i'tikaf, tawaf, atau berhaji dan umrah.
Demikian pula tentang kisah pohon kayu di masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , beliau maupun para sahabat tidak menjadikannya
sebagai tempat sakti yang dapat menyembuhkan penyakit, seperti
kisah-kisah berikut ini:
1. Kisah pohon yang merunduk ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berhenti dalam perjalanan beliau ke Syam bersama paman beliau.
Para ulama sîrah (sejarah nabi) menyebutkan bahwa saat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perjalanan ke negeri Syam bersama paman beliau
Abi Thâlib, beliau selalu dinaungi awan. Ketika berhenti di sebuah
tempat di negeri itu, di dekat rumah seorang Rahib (pendeta), beliau
Shallallahu ’alaihi wa sallam disuruh paman beliau untuk menunggu barang
dagangannya di pinggir jalan. Tiba-tiba Rahib itu melihat sebatang
pohon merunduk ke arah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menaunginya dari panas terik matahari. Saat melihat hal tersebut, Rahib
berkata dalam hatinya: ”Sesungguhnya ini tidaklah terjadi kecuali pada
seorang Nabi.” Lalu Rahib itu mengajak mampir ke rumahnya, dan menyuruh
Abu Thâlib membawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam cepat-cepat pulang
ke Mekah. Ia berkata: ”Anak ini akan memiliki kemulian, jika
orang-orang Yahudi mengetahuinya maka mereka akan membunuhnya.” Rahib
itu mengetahui hal itu dari kitab Taurât dan Injîl yang dimilikinya [5].
Demikian kisah tersebut. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat tidak menganggap pohon itu keramat atau sakti.
2. Pohon Hudaibiyah.
Allah Azza wa Jallaberfirman dalam al-Qur'an:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jallatelah ridha terhadap orang-orang Mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah Azza
wa Jallamengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya)".[al-Fath/48:18]
Tatkala Amîrul Mukminîn Umar bin Khatâb melihat sebagian orang
mendatangi tempat tersebut dan shalat di situ, beliau menebang pohon
tersebut untuk menentang perbuatan syirik[6].
3. Kisah Tangis Tiang Masjid Dari Batang Korma.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ يَسْتَنِدُ إِلَىْ جِذْعِ نَخْلَةٍ مِنَ
سِوَارِي الْمَسْجِدِ فَلَمَّا صُنِعَ الْمِنْبَرُ وَاسْتَوَى عَلَيْهِ
اضْطَرَّبَتْ تِلْكَ السَّارِيَةُ كَحَنِيْنِ النَّاقَةِ حَتَّى سَمِعَهَا
أَهْلُ الْمَسْجِدِ حَتَّى نَزَلَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَنَقَهَا فَسَكَتَتْ . رَوَاهُ النَّسَائِيْ
وَصَحَّحَهُ الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِيْ
"Dari Jâbir bin Abdillâh ia berkata: "Jika Rasulullâh berkhutbah beliau
bersandar kepada batang kurma di salah satu tiang masjid. Tatkala mimbar
telah dibuat dan beliau duduk di atasnya, tiang tersebut menangis
bagaikan rintihan seekor onta, semua orang yang ada dalam masjid
mendengarnya. Lalu Rasulullâh turun dan mengusapnya, barulah ia diam".
Dalam hadits ini disebutkan bahwa tiang tersebut sedih karena tidak lagi
menjadi sandaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suara tersebut
terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tiang itu, agar
berhenti dari kesedihannya; bukan karena untuk mencari berkah.
Sebagaimana saat musim haji, betapa banyaknya orang yang mengusap-ngusap
dan berebut untuk shalat dekat tiang tempat mu'adzin mengumadangkan
azan di masjid Nabawi.
4. Kisah Pohon Yang Berjalan Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ الثَّقَفِيْ قَالَ: بَيْنَا نَحْنُ نَسِيْرُ
مَعَهُ النَّبِيُ فَنَـزَلْنَا مَنْـِزلاً فَناَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتْ شَجَرَةٌ تَشُقُّ اْلأَرْضَ حَتَّى
غَشِيَتْهُ ثُمَّ رَجَعَتْ إِلَى مَكَانِهَا فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَتْ لَهُ فَقَالَ هِيَ
شَجَرَةٌ اسْتَأْذَنَتْ رَبَّهَا عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُسَلِّمَ عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنَ لَهَا ...)).
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبَغَوِيْ فِيْ شَرْحِ السُّنَّةِ. وَقَالَ الشَّيْخُ
اْلألْبَانِيْ: صَحِيْحٌ لِشَوَاهِدِهِ [7].
Dari Ya'la bin Murrah ats-Tsaqafy, ia berkata: “Ketika kami bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kami berhenti di
suatu tempat, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur. Tiba-tiba
datang sebatang pohon berjalan membelah bumi sampai menaungi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian ia kembali lagi ke tempatnya
semula. Tatkala Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, aku
sebutkan hal tersebut kepada beliau. Beliau berkata:”Ia adalah pohon
yang meminta izin pada tuhannya untuk memberi salam padaku, lalu Allah
Azza wa Jalla mengizinkannya[8] ".
Nabi dan para shahabat tidak mengkeramatkan pohon tersebut sebagaimana
kebiasaan orang-orang terhadap pohon-pohon yang biasa mereka anggap
sakti, padahal pohon tersebut tidak memiliki keluarbiasaan. Hanya karena
sudah berumur ratusan tahun, tidak tumbang ditiup kangin kencang, maka
seolah-olah sering terdengar suara-suara ghaib di situ. Atau berbagai
kepercayaan khurafat lainnya yang mereka buat-buat sendiri. Mereka tidak
mengetahui bahwa suara ghaib itu bisa suara jin yang tinggal di atas
pohon itu.
5. Kisah Onta Yang Berbicara Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ الثَّقَفِيْ قَالَ بَيْناَ نَحْنُ نَسِيْرُ مَعَ
النَّبِيْ إِذْ مَرَرْنَا بِبَعِيْرٍ يُسْنَى عَلَيْهِ فَلَمَّا رَآه
ُالْبَعِيْرُ جَرْجَرَ فَوَضَعَ جِرَانَهَ فَوَقَفَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ صَاحِبُ هَذَا اْلبَعِيْرِ
فَجاَءَهُ فَقَالَ بِعْنِيْهِ فَقَالَ بَلْ نَهِبُهُ لَكَ يَارَسُوْلَ
اللهِ وَإِنَّهُ ِلأَهْلِ بَيْتٍ مَا لَهُمْ مَعِيْشَةٌ غَيْرَهُ قَالَ
أَمَّا إِذَا ذُكِرَتْ هَذَا مِنْ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ شَكَا كَثْرَةَ
الْعَمَلِ وَقِلَّةَ الْعَلَفِ فَأَحْسِنُوْا ِإَليْهِ...)).
Dari Ya'la bin Murrah Ats Tsaqafy, ia berkata:”Ketika kami bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Kami melewati
seekor onta yang sedang diberi minum. Tatkala onta tersebut melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia mengeluh dan meletakkan lehernya.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dekatnya dan
bertanya:”Mana pemilik onta ini?” Lalu datanglah pemiliknya, dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:”Juallah ia padaku!” Lalu
pemiliknya menjawab:”Kami hadiahkan padamu ya Rasulullâh. Ia adalah
milik keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian selain onta ini.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya ia telah
mengadukan tentang banyak bekerja dan kekurangan makanan, maka berbuat
baiklah kamu kepadanya".
Onta tersebut tidak pernah disaktikan oleh pemiliknya, atau diambil
kotorannya untuk penangkal atau pelaris dagangan, apalagi dianggap
sebagai wali/syaikh.
Dengan memperhatikan contoh-contoh di atas, sangat nyata perbedaannya
dengan sebagian manusia abad modern dewasa ini. Meskipun disebut manusia
modern, namun mereka mengangap sakti berbagai macam barang seperti,
keris, batu, pohon tua, kuburan, sungai atau laut. Termasuk perabot
rumah tangga, peningalan kuno, binatang ternak, batu kali, kayu di
hutan, bahkan kuburan sekalipun.
Demikian juga seandainya contoh-contoh di atas terjadi di zaman
sekarang, tidak bisa dibayangkan akibatnya. Sebagian besar orang yang
menyaksikan tentu akan mengkeramatkan batu, pohon atau binatang itu dan
menjadikannya sebagai tempat berundi nasib, menyembuhkan penyakit,
mencari jodoh, dan seterusnya.
Dan seandainya peristiwa-peristiwa itu terjadi di hadapan orang-orang
yang mengidap penyakit “TBK” (tahyul, bid'ah dan khurafat), sangat
mungkin mereka akan melakukan pemujaan atau penyembahan
Maka sungguh amat mengherankan dan menyedihkan kita, jika baru-baru ini,
hanya sebuah batu kecil milik seorang bocah cilik dapat melindas tauhid
sebagian umat ini.
Demikian bahasan kita kali ini semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta segenap kaum muslimin. Wallâhu A'lam.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ ِإلاَّ أَنْتَ وَأَسْتَغْفَرك وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani
1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr Ibnu Katsîr: 7/455.
[2]. Ibid.
[3]. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Ibnu Jarîr, Ibnu Abi Hâtim, Al-Baihaqi dll. Lihat "Ad Dûrur Mantsûr"6/574.
[4]. Al-Qaulul Mufîd: 1/129.
[5]. Lihat "Târikhuth Thabary: 1/520 dan "Al-Bidâyah wan Nihâyah": 2/284.
[6]. Lihat "Al bida' Wannahyu 'anha" Ibnu Wadhah: 26.
[7]. "Misykâtul Mashâbîh": 3/287.
[8]. Lihat; Musnad imam Ahmad: 29/106, Syarhussunnah: 6/454, Misykâtul Mashâbîh: 3/287.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca Artikel saya. Alangkah indahnya jika anda meninggalkan sebuah komentar.